Evaluasi Belajar
A.
Pengertian
Evaluasi Belajar
Evaluasi
merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan diketahui
bagaimana kondisi objek evaluasi tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta
hasilnya.
Pemahaman mengenai pengertian evaluasi
dapat berbeda-beda sesuai dengan pengertian evaluasi yang bervariatif oleh para
pakar evaluasi. Menurut Arifin (2012:8) evaluasi
adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas
(nilai dan arti) daripada
sesuatu, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu untuk membuat suatu keputusan.
Sedangkan Uzer
(2003:120), mengatakan bahwa “Evaluasi adalah suatu proses yang ditempuh
seseorang untuk memperoleh informasi yang berguna untuk menentukan mana dari
dua hal atau lebih yang merupakan alternatif yang diinginkan, karena penentuan
atau keputusan semacam ini tidak diambil secara acak, maka
alternatif-alternatif itu harus diberi nilai relatif, karenanya pemberian nilai
itu harus memerlukan pertimbangan yang rasional berdasarkan informasi untuk
proses pengambilan keputusan”.
Sedangkan belajar adalah kegiatan transfer pengetahuan
antara guru dengan siswa dalam kegiatan pembelajaran mengenai suatu pemahaman
konsep ataupun informasi.
Jadi evaluasi belajar adalah suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang guru untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa
dalam setiap proses pembelajaran
dengan pertimbangan yang rasional berdasarkan informasi untuk proses
pengambilan keputusan.
B.
Tujuan
Evaluasi Belajar
Evaluasi atau penilaian dilakukan oleh guru
terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi
peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil
belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran. Adapun tujuan evaluasi dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui tingkat kemajuan yang teah dicapai oleh
siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu.
b. Untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam
kelompok kelasnya.
c. Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam
belajar.
d. Untuk mengetahui hingga sejauh mana siswa telah
mendayagunakan kapasitas kognitifnya (kemampuan kecerdasan yang dimilikinya)
untuk keperluan belajar.
e. Untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode
mengajar yang digunakan guru dalam proses mengajar-belajar (PMB). (Syah,
2003:197-198).
C.
Fungsi
Evaluasi Belajar
Di samping memiliki
tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagaimana di sebutkan
oleh Nurkancana et al (1983:3)
sebagai berikut:
a. Untuk
mengetahui taraf kesiapan daripada anak-anak untuk menempuh suatu pendidikan
tertentu.
b. Untuk
mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan yang
telah dilaksanakan.
c. Untuk
mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang kita ajarkan data kita lanjutkan
dengan bahan yang baru ataukah kita harus mengulangi kembali bahan-bahan
pelajaran yang telah lampau.
d. Untuk
mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan bimbingan tentang jenis
pendidikan atau jenis jabatan yang cocok untuk anak tersebut.
e. Untuk
mendapatkan bahan-bahan informasi untuk menentukan apakah seorang anak dapat
dinaikkan ke dalam kelas yang lbih tinggi ataukah harus mengulang di kelas
semula.
f. Untuk
membandingkan apakah prestasi yang dicapai oleh anak-anak sudah sesuai dengan
kapasitasnya atau belum.
g. Untuk
menafsirkan apakah seorang anak telah cukup matang untuk kita lepaskan ke dalam
masyarakat atau untuk melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
h. Untuk
mengadakan seleksi.
i. Untuk
mengetahui taraf efisiensi metode yang dipergunakan dalam lapangan pendidikan.
Selain fungsi di
atas, evaluasi juga mengandung fungsi psikologis yang cukup signifikan bagi
siswa maupun bagi guru dan orang tuanya. Bagi siswa, penilaian guru merupakan
alat bantu untuk mengatasi kekurangmampuan atau ketidakmampuannya dalam menilai
kemampuan dan kemampuan dirinya sendiri. Bagi orang tua atau wali siswa, dengan
evaluasi itu kebutuhan akan pengetahuan menganai hasil usaha dan tanggung
jawabnya mengembangkan potensi anak akan terpenuhi. Pengetahuan seperti ini
dapat mendatangkan rasa pasti kepada orang tua. (Syah, 2003:198)
D.
Jenis-Jenis
Evaluasi Belajar
Pada prinsipnya,
evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan. Oleh
karena itu, jenis-jenisnya pun banyak, mulai yang paling sederhana sampai yang
paling kompleks. Seperti yang disebutkan oleh Syah, (2003:199-201) jenis-jenis
evaluasi adalah sebagai berikut:
a. Pre-test dan
Post-test
Pre-test
adalah kegiatan evaluasi yang dilakukan guru secara rutin pada setiap akan
memulai penyajian materi batu. Tujuannya, ialah untuk mengidentifikasi taraf
pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan. Evaluasi seperti ini
berlangsung singkat dan sering tidak memerlukan instrument tertulis.
Post-test
adalah kebalikan dari pre-test, yaitu
kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap akhir penyajian materi.
Tujuannya, ialah untuk mengetahui taraf pengasaan siswa atas materi yang telah
diajarkan. Evaluasi ini juga berlangsung singkat dan cukup menggunakan
instrument sederhana yang berisi item-item yang jumlahnya sangat terbatas.
b. Evaluasi
Prasyarat
Evaluasi jenis ini
sangat mirip dengan pre-test. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
penguasaan siswa ataas materi lama yang mendasari materi baru yang akan
diajarkan. Contoh: evaluasi penguasaan penjumlahan bilangan sebelum memulai
pelajaran perkalian bilangan, karena penjumlahan merupakan prasyarat atau dasar
perkalian.
c. Evaluasi
Diagnostik
Evaluasi ini
dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan
mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Instrumen
evaluasi jenis ini dititikberatkan pada bahasan yang dipandang telah membuat
siswa mendapatkan kesulitan.
d. Evaluasi
Formatif
Evaluasi jenis ini
dapat dipandang sebagai “ulangan” yang dilakukan pada setiap akhir penyajian
satuan pelajaran atau modul. Tujuannya adalah untuk memperoleh umpan balik yang
mirip dengan evaluasi diagnostik, yakni untuk mendiagnosis (mengetahui
penyakit/kesulitan) kesulitan belajar siswa. Hasil diagnosis kesulitan belajar
tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan rekayasa pengajaran remedial
(perbaikan).
e. Evaluasi
Sumatif
Jenis evaluasi
sumatif dapat dianggap sebagai “ulangan umum” yang dilakukan untuk mengukur
kinerja akademik atau prestasi belajar siswa paha akhir periode pelaksanaan
program pengajaran. Evaluasi ini lazim dilakukan pada setiap akhir semester
atau akhir tahun ajaran. Hasilnya dijadikan bahan laporan resmi mengenai
kinerja akademik siswa dan bahan penetu naik atau tidaknya siswa ke kelas yang
lenih tinggi.
f. Ujian
Akhir Nasional (UAN)
Ujian Akhir Nasional
yang dulu disebut EBTANAS (Evaluasi Tahap Akhir Nasional) pada prinsipnya sama
dengan evaluasi sumatif dalam arti sebgai alat penentu kenaikan status siswa.
Namun, UAN yang diberlakukan mulai tahun 2002 dirancang untuk siswa yang telah
menduduki kelas tertinggi pada suatu jenjang pendidikan tertentu seperti
jenjang SD/MI, SLTP/MTs, dan sekolah-sekolah menengah yakni SMU dan sebagainya.
E.
Kriteria
Tes yang Baik
Tes
atau soal evaluasi merupakan alat ukur yang memiliki fungsi ganda yaitu untuk
mengukur efektivitas belajar dan mengukur efektivitas guru dalam mengajar.
Untuk dapat menjadi alat ukur yang baik dan dapat memberikan informasi yang
akurat maka setiap soal sebagai bagian dari konstruksi tes harus dijaga
kualitasnya.
Arikunto dalam buku Suwarno (2006) menyebutkan bahwa
suatu tes dikatakan sebagai alat pengukur yang baik harus memiliki validitas,
reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas, dan ekonomis.
Sedangkan menurut Indrakusuma (1993:27) ada berbagai
macam ciri yang harus dipenuhi oleh suatu test yang baik. Dari ciri ini yang dianggap
ciri-ciri pokok atau ciri-ciri utama ialah reliabilitas, validitas, dan
objektivitas.
Berbeda pula pendapat yang dikemukakan oleh Slameto
(1988:19). Dia menyatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu tes atau
evaluasi ada delapan, yakni: sahih (valid), terandalkan (reliable), obyektif,
seimbang, membedakan, norma, fair (tidak menjebak), dan praktis.
1. Reliabilitas
Menurut Suwarno (2006:119)
reliabilitas berasal dari kata reliability, reliable yang artinya dapat
dipercaya, berketetapan. Sebuah tes dikatakan memiliki reliabilitas apabila
hasil- hasil tes tersebut menunjukkan ketetapan. Artinya jika peserta didik diberikan
tes yang sama pada waktu yang berlainan, maka setiap siswa akan tetap berada
pada urutan yang sama dalam setiap kelompoknya. Indrakusuma (1993:28)
menyatakan bahwa suatu tes dapat pula memberikan hasil yang tidak dapat
dipercaya (unreliable). Hal ini disebabkan oleh dua macam faktor, yaitu:
1) Situasi pada waktu tes berlangsung. Hal ini mencakup
keadaan jasmaniah dan rohaniah dari anak.
2) Keadaan tes itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan
kualitas dari soal-soalnya atau panjang tes tersebut. Mengenai kualitas dari
soal tes.
Conny Semiawan Stamboel (1979:65) mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
reliabilitas suatu tes, antara lain:
1) Hubungan panjang tes dengan reliabilitas. Makin pendek
sebuah tes, makin rendah reliabilitasnya. Namun terkadang tes yang pendek dan
kurang reliabel berharga juga untuk tujuan lain tes tertentu, misalnya dalam
mengambil keputusan yang cepat. Tingkat reliabilitas yang dikehendaki berbeda,
sesuai dengan tujuan tes.
2) Keobyektifan. Keobyektifan tes merupakan faktor yang
penting di dalam menjaga reliabilitas tes.
3) Manfaat tes. Tes harus memenuhi syarat kegunaan. Misalnya
soal-soal tes yang mempersoalkan masalah-masalah khusus di Jawa Barat, tidak
dapat digunakan di Irian Jaya karena tes tersebut tidak memenuhi syarat
kegunaan.
Dalam hal ini Dr. Oemar
Hamalik (1989: 143) menjelaskan tentang kemungkinan cara untuk menguji
reliabilitas pengukuran (tes), antara lain:
1) Pengukuran dengan Tes yang Sama (Tes-Retes). Apabila kita
ingin mengetahui ketetapan yang diberikan suatu pengukuran tentang
karakteristik individu dari hari ke hari – bagaimana kita dapat meramalkan skor
/ nilai individu untuk minggu yang akan datang berdasarkan apa yang
diperbuatnya hari ini – hal ini berarti pengukuran harus dilakukan dalam dua
waktu. Dengan demikian kita akan melihat variasi individu dari waktu ke waktu
maupun variasi dalam mengerjakan kedua pengukuran tersebut.
2) Parallel Test Form. Parallel form ini terdiri atas dua
tes yang disusun dalam bentuk yang berbeda tetapi berdasarkan spesifikasi
derajat kesukaran yang seimbang. Dengan demikian murid akan dihadapkan kepada
dua jenis (yang paralel) pada saat yang sama. Reliabilitas pengukuran kedua
bentuk ini diperoleh dengan jalan mengkorelasikan skor-skor hasil kedua
pengukuran tersebut.
3) Subdivided Test. Prosedur ini ditempuh dengan jalan
membagi tes ke dalam dua bagian (split half test). Pembagian ini biasanya
didasarkan atas item-item bernomor ganjil dan genap. Korelasi antara dua
perangkat skor ini akan menghasilkan derajat ketetapan pengukuran.
2. Praktibilitas
Menurut Suwarno (2006:120), sebuah tes dikatakan memiliki
praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis. Artinya tes
itu mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan dilengkapi dengan petunjuk
yang jelas sehingga dapat diberikan atau diawali oleh orang lain dan juga mudah
dalam membuat administrasinya.
Sedangkan menurut Indrakusuma (1993:47) di dalam bukunya
dia mengistilahkan praktikabilitas dengan Ease of administration (mudah dalam
pelaksanaan). Dalam menyusun sebuah tes, kita harus memikirkan pula bagaimana
pelaksanaannya. Sebagai contoh di bawah ini dilukiskan dua macam cara
pelaksanaan tes sebagai berikut:
1) Tes A terdiri atas 5 bagian. Untuk tiap bagian disediakan
waktu untuk mengerjakan selama 10 menit. Bagian pertama harus dikerjakan lebih
dahulu. Setelah 10 menit, dibunyikan tanda, dan semua peserta tes harus pindah
mengerjakan bagian kedua, biarpun bagian pertama belum selesai. Setelah 10
menit lagi, dibunyikan tanda, dan semua peserta tes harus mengerjakan bagian
ketiga, biarpun bagian kedua belum selesai. Demikian seterusnya, hingga tes
selesai.
2) Tes B terdiri atas 5 bagian. Untuk mengerjakan disediakan
waktu 50 menit. Cara mengerjakan tidak dibagi-bagi; bagian pertama, kedua dan
seterusnya. Juga tidak ditentukan bagian-bagian mana yang harus dikerjakan
terlebih dahulu. Peserta tes bebas memilih mana yang akan didahulukan dan yang
dikerjakan kemudian. Dari kedua contoh di atas, maka tes B lebih mudah
pelaksanaannya daripada tes A
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Zainal.
2012. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI
Hamalik,
Oemar. 1989. Teknik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan. Bandung: Penerbit
Mandar Maju
Indrakusuma,
Amir Daien. 1993. Evaluasi Pendidikan. Malang: IKIP Malang.
Nurkancana,
Wayan et al. 1983. Evaluasi
Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Slameto. 1988. Evaluasi
Pendidikan. Jakarta: PT Bina Aksara.
Stamboel, Conny Semiawan. 1979. Prinsip
Dan Teknik Pengukuran Penelitian Di Dalam Dunia Pendidikan. Jakarta:
Mutiara.
Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Syah,
Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta :PT RajaGrafindo Perkasa
Uzer, Usman. 2003. Menjadi guru professional.
Bandung : Remaja Rosdakarya.